Wednesday, 18 January 2023

BERPISAH


"Jadikan ini perpisahan yang termanis
Yang indah dalam hidupmu
Sepanjang waktu"

Sepanjang hari lirik lagu itu berputar di kepalaku. 

Memangnya ada ya perpisahan termanis? 
Aku masih tidak percaya pada perpisahan baik-baik. Omong kosong sekali. 
Berkali aku mencoba untuk berpisah baik-baik. Menjadikan perpisahan menjadi sebuah hal yang manis. Agar kisah tak terasa pedih. Agar tidak ada luka. Agar tidak ada yang tersakiti. Indah untuk dikenang. 

Sampai akhirnya kembali di titik yang sama. Kembali dan kemudian berpisah lagi. Lagi dan lagi sampai yang ke sekian kalinya. 

Mungkin perpisahan manis hanyalah kedok. Dua manusia yang tidak bisa berpisah. Tidak tegas pada keputusan masing-masing. Saling menipu diri sendiri. Masih saling berharap tapi enggan berjuang. Tak mengakui ketakutan dalam diri. Tak benar-benar jujur. Tak ingin menerima kenyataan. Benar-benar pengecut. Tak ingin berpisah tapi tak sanggup berjuang. 

Hingga akhirnya, keduanya lelah tanpa arah. Tidak bergerak maju. Seperti ruang kosong yang saling bertemu, kehampaan semakin jelas terasa.  Semua yang mengambang lambat laun terlihat jelas. Semua yang terpendam akhirnya keluar tak berkesudahan. Tak henti saling menyakiti. Hingga sampai keyakinan bahwa berpisah adalah jawaban. Tak ada lagi perpisahan manis. Segala kembali pada hakikatnya. Perpisahan yang pahit. Menyisakan luka yang dalam. Bersiap menerima kenyataan. 

#5CC #5CCDay5 #TantanganMenulis

Saturday, 14 January 2023

RAPUH

Senja melenyapkan diri
Mengijinkan malam merengkuh semesta
Rintik hujan bertaburan
Petir berlalu lalang 
Menggemuruh di langit hitam

Duhai malam pekat
Sungguh jiwa ini tak ingin menjadi pekat
Namun pada malam yang sunyi
Rasa tak pandai bersembunyi
Pikiran mengembara dalam rimba tanya
Resah tak berkesudahan

Setumpuk amarah menyeruak
Sumpah serapah mengacau pikiran
Terpendam terhimpit ruang luka
Lama bersemayam dalam diri
Menyisakan genangan kerapuhan

Duhai jiwa yang gundah
Semestinya engkau lelah 
Menghalau tanpa arah
Akuilah, engkau hambaNya yang lemah

Maka pada sepertiga malam
Sempatkanlah singgah
Tuhan Maha Penyayang
Yang gersang tergerus lara
Terbasuh kala bersimpuh

Saturday, 22 August 2020

Sajak Lalu

Perihal kisah dan asa
Semua kan lalu bersama waktu

Layaknya bunga yang mengering
Setiap fasa ada masanya
Mekar hanyalah sementara

Yang sempat riuh sesak dan membara
Nyatanya sirna ditelan kala

Kita tak lebih dari sekelumit sandiwara semesta
Lambat laun kan melesap
Memudar tak berbekas

Bagai debu jalanan tersapu angin
Hitam putih bergulir ke tepian angan

Terlelap dalam pengembaraan
Menyusuri realitas

Sunday, 16 December 2018

Dualima

Haloo gaes. Lama tak jumpa. Udah lama nggak nulis nih kayaknya. Inget ngeblog kalau mau nyampah doang soalnya wkwkwk. Mungkin pengen nyampah karena efek menjelang ganti umur kali ya. Apalagi tahun ini saya bentar lagi seperempat abad. Ya Allah... Masih suka mikirin hal-hal receh yang harusnya nggak perlu dipikirkan ketika sudah berumur seperempat abad. Waktunya masih banyak terbuang buat ngelakuin hal-hal yang tak berfaedah. 
Mungkin ini beberapa hal yang mesti saya kurang-kurangin mulai dari sekarang.

Don't assume. Ask. Don't wanna ask? Think positive.
Pernah nggak sih kalian berasumsi terhadap apa yang dilakukan seseorang ataupun terhadap sikap seseorang kepada kita? Yang kemudian mengarah pada "overthinking" dan kemungkinan terarah ke "negatif thinking" dan berefek pada pikiran yang tidak sehat kemudian berujung pada merugikan diri sendiri. Padahal dulu waktu SMA atau awal-awal kuliah saya mah orangnya bodo amat, cuek, peka nggak terlalu, sensitif juga kagak. Efek pengalaman hidup kali ya. Atau mungkin gara-gara keseringan dikatain nggak peka terus kebanyakan introspeksi akhirnya sekarang jadi gini. Bagus sih jadi peka, tapi masalahnya kok jadi lebih sensitif juga ya? Hahaha. 
Kadang saya merasa saya bisa membaca orang sehingga secara otomatis suka berasumsi mengapa si A begini dan begitu. Padahal belum tentu benar. Bahkan orang yang kita kenal dekat sekalipun, kita sebenarnya tidak akan pernah tahu persis apa yang ada di pikirannya. Intinya, jangan cepat menyimpulkan. Semua orang itu unik. Masalah atau hal yang sama bisa memunculkan ratusan macam feedback karena orang beda-beda. Dilahirkan dari latar belakang berbeda, hidup di lingkungan berbeda, beda DNA, dan sebagainya. Nggak sesederhana dia itu "aries", golongan darahnya A, tipe ENTP, jadi bla bla bla. Kalau kata Pramoedya, "Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, peradabanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput."
Kadang kita juga menyimpulkan sikap seseorang dalam menghadapi sesuatu berdasarkan cara kita menghadapi sesuatu. ''Nggak mungkin. Aku aja kalau nanana nggak mungkin bakalan bersikap lalala." Yaaaa kan itu kita. Bukan dia. Bahkan kalaupun kebanyakan orang bersikap A, belum tentu si X juga akan bersikap A." Jadi, jangan sok tau. Wkwkwk.
Kadang juga kita khawatir si A bersikap nanana ke kita karena kita lalalalala. Padahal belum tentu realitanya sedramatis dan seburuk yang kita pikirkan. Mungkin sebenarnya bermaksud baik tapi cara penyampaiannya yg kurang bisa kita terima, padahal ya memang sudah karakternya begitu, atau mungkin saja lagi pms, lagi banyak pikiran, lagi ada masalah, lagi capek, lagi badmood, dsb sehingga terbawa emosi. Intinya, bertanyalah sebelum menyimpulkan. Kalau memang dirasa tidak perlu untuk ditanyakan, jangan mikir yang negatif. Kalau memang perlu untuk ditanya tapi malas buat bertanya, berpikirlah positif. Nggak bisa mikir positif? jangan dipikirkan. Masih kepikiran? Alihkan ke hal lain. Masih kepikiran juga? Ya tanyain aja, jangan sibuk berasumsi. Nggak mau nanya? balik lagi ke pasal sebelumnya, cari yang paling positif dari sekian banyak kemungkinan yang ada. Dan juga berpikir logis, jangan banyak pake perasaan. Kalau masih saja berpikir negatif tandanya kita perlu berdoa agar dimudahkan untuk menjadi orang yang khusnudzan. Kalau berdasarkan hadist, “Apabila sampai kepadamu dari saudaramu sesuatu yang kamu ingkari, maka berilah ia sebuah udzur sampai 70 udzur. Bila kamu tidak mendapatkan udzur, maka katakanlah, “Barangkali ia mempunyai udzur yang aku tidak ketahui.” Jadi, kemungkinanmu udah 70 belom? wkwkwkwk. Tambahan lagi, kalaupun hal negatif berdasarkan feeling kita itu ternyata benar, buat apa juga dipikirin? Intinya, kalau nggak mengarah ke solusi dan mengarah ke kebaikan, jangan dipikirkan.

Kalau berdasarkan pengalaman sih memang sebenernya kalau mau bertanya, ternyata kenyataannya itu tidak sedramatis yang saya pikirkan, bahkan kadang sangat berbeda dari apa yang saya pikirkan. Rasanya jadi pengen ngetawain diri sendiri kenapa mikirnya sampe segitunya padahal ternyata... yaelaahhh gitu doang. Kadang jadi merasa bersalah karena sudah mikir yang enggak-enggak. Rasanya sudah mencoba melihat dari berbagai sudut pandang, setelah ditanyakan, eh malah itu sama sekali nggak ada di pikiran saya. Ya karena memang orang itu beda-beda gaesss. Jadi, kurang-kurangin berasumsi. Komunikasi adalah kunci. Ingat ya, "Healthy mind, healthy life." Wkwkwk.


OK, NEXT.
Don't complain behind. Communicate. Don't wanna communicate? Sabar. Ikhlas.
Yaampun tapi kok capek mau ngetik. Lanjut besok deh kalau nggak lupa. Byeeee.

Saturday, 28 July 2018

Perempuan

Udah lama nggak nulis. Udah lupa gimana cara mengawali cerita, wkwkwk. Intinya, lagi sedih aja akhir-akhir ini. Sedih mendengar cerita sedih. Ya gitu, perempuan. Kebanyakan perempuan adalah tipe Feeling, bukan Thinking. Dalam mengambil keputusan, terkadang lebih banyak dipengaruhi perasaannya. Bukan sesuatu yang salah sebenernya. Tapi kalau untuk urusan menikah, alangkah baiknya ketika memutuskan dengan membawa serta logika. Menikah itu untuk seumur hidup. Bahkan kalau di dalam Islam, menikah itu menyempurnakan separuh agama. Menikah adalah ibadah seumur hidup. Jadi, mudahkanlah ibadahmu (read:menikah) dengan memilih pasangan yang baik agama dan akhlaknya.

Banyak yang bilang kalau untuk urusan nikah, cinta itu nomor sekian. Setuju. Menikah itu komitmen seumur hidup. Nggak cukup modal cinta aja. Kalau cuma modal cinta, cinta bisa hilang. Namun, cinta juga bisa ditumbuhkan, kalau berusaha menjaga komitmen.

Jadi, dalam mengambil keputusan terkait pernikahan, utamakan logika.
Kalau dalam Islam, memilih pasangan itu dilihat dari agama dan akhlaknya. Bukan hanya salah satunya. Bukan berarti mencari yang sempurna agama dan akhlaknya. Karena manusia tempatnya salah dan khilaf. Setiap manusia memiliki kekurangan. Cukup yang baik, bukan sempurna. Baik dan tentunya mau sama-sama belajar dan berusaha untuk terus memperbaiki diri.

Namun pada kenyataannya, kalau sudah terlanjur jatuh cinta, logika akan cenderung kalah dengan perasaan. Terutama perempuan. Terkadang sudah tau agamanya tidak baik, akhlaknya kurang baik, tapi tetap saja maunya nikah sama orang tersebut. Terkadang sambil berandai-andai. Nanti agama dan akhlak bisa diperbaiki sambil jalan. Padahal dalam kenyataannya, ketidakbaikan itu lebih mudah menular masalahnya wkwk. Membiasakan kebiasaan baik itu perlu sekitar 40hari. Tapi, membiasakan kebiasaan buruk, seminggu aja kayaknya cukup. 

Perempuan itu cenderung mengikuti imamnya. Sudah fitrahnya dibimbing. Maka pilihlah imam yang baik. Mengubah seseorang itu sulit, apalagi kalau memang dalam diri orang tersebut tidak ada niat untuk berubah. Apalagi kalau mindsetnya sudah semacam: "Ya emang aku orangnya kasar." Kalau orangnya saja merasa kalau kasar itu bukan sesuatu yang salah yha gimana mau berubah. Semisal lagi, tidak pernah sholat. Sudah menjadi kebiasaan bertahun-tahun. Yakin bisa tiba-tiba berubah kalau kita yang menasihati? Gimana kalau kebiasaan tidak sholatnya itu kambuh lagi suatu saat nanti? Kalau bukan Allah yang kasih hidayah, kita bisa apa? 
Intinya, setan rumah tangga itu banyak wujudnya, kalau pondasi agama dan akhlak kurang baik, mewujudkan keharmonisan menjadi sulit. 
Menikah itu banyak cobaannya. Banyak repotnya. Masa iya masih harus ditambah repot mbenerin pondasi agama dan akhlak? Apalagi kita perempuan. Bakti utamanya beralih dari ibu ke suami ketika menikah. Coba bayangin, harus taat sama orang yang akhlaknya aja nggak bener. Yakin mampu?

Ada lagi cerita. Si perempuan tidak mau menikah dengan orang yang merokok. Sewaktu sebelum menikah, si lelaki janji ngga bakal merokok demi perempuan tersebut. Sudah berjalan sekian bulan dan bisa bertahan tidak merokok. Kekuatan cinta kali ya. Namun, ketika sudah menikah, kambuh lagi kebiasaan merokoknya. Ya karena perubahan karena bukan terdorong dari diri sendiri kemungkinan hanyalah sementara. Terus kalau udah nikah perempuan bisa apa? Mau bilang nggak mau punya suami yang merokok? Terus cerai gitu? Yakali. Jadi, jangan mudah percaya janji. Apalagi janji yang diucapkan saat orang sedang jatuh cinta. Kalau kata hadist, "Jangan mengambil keputusan ketika sedang marah, jangan membuat janji ketika sedang senang" - Ali bin Abi Thalib."

Intinya, jangan lupa utamakan logika. Iya, memang susah kalau sudah terlanjur jatuh cinta. Setidaknya kalau lagi kasmaran, pakailah juga logika teman, karena logika sendiri kadang nggak jalan. Coba bayangin kita menikah dengan orang yang kita cintai, tapi tidak baik akhlaknya. Semisal, kasar, pelit, keras kepala, dll. Mungkin awal menikah kita masih bahagia-bahagia aja. Tapi ketika beberapa tahun berlalu, yakin nggak capek makan ati? Mungkin cintanya udah kalah sama rasa capek. Numpuk sama capek nyuci, capek nyetrika, capek beresin mainan anak, dan printilan capek khas ibu-ibu lainnya. Sementara, jika kita menikah dengan orang yang belum kita cintai tapi baik akhlaknya, mungkin di awal pernikahan tidak sebahagia ketika kita menikah dengan orang yang kita cintai. Tapi beberapa tahun kemudian, mungkin kita sudah bisa jatuh cinta karena perlakuannya yang baik terhadap kita. Apalagi, perempuan itu cenderung gampang leleh, eh luluh. Teorinya sih, wkwkwk. Aku sendiri kan masih anak bawang yang baru mencoba menerawang pernikahan. Urusan menikah, kalau niatnya tidak kuat, meskipun sama-sama cinta, belum tentu sampai pada pernikahan.
Tapi balik lagi, perempuan yang cenderung pakai perasaan, kadang susah kalau sudah terlanjur jatuh cinta. Terlanjur nyaman. Terlanjur menutup hati. Makanya jangan asal naruh perasaan. Belajarlah untuk mencintai dan berkomitmen pada seseorang yang sudah pasti masuk kriteria masa depan.

Eh tambahan satu lagi, pilihlah seseorang yang nggak cuma bisa menerima kita, tapi juga menerima keluarga kita apa adanya. Pilihlah seseorang yang tidak membuat kita sulit untuk membahagiakan orang tua. 

Terakhir, yang paling penting sih berdoa. Hanya Allah yang paling tahu jodoh terbaik untuk kita. 

Sekian. Maaf kalau kesannya ceramah. Buat pengingat juga untuk diri sendiri kalau besok-besok khilaf. Wkwkwk

Thursday, 12 April 2018

Menikah

Kalau kita terus menerus mencari yang terbaik. Mungkin, kita tidak akan pernah selesai membanding-bandingkan. Kata guruku, tidak ada yang benar-benar terbaik, yang ada hanyalah yang bersedia untuk terus memperbaiki dan diperbaiki.

Selama kita berhadapan pada pilihan, sejatinya kita tidak akan pernah bisa mengambil keputusan yang benar. Semua keputusan yang kita ambil itu salah. Kemudian, peluang untuk menjadikannya benar itu sama besarnya. Caranya, dengan kita menjalani keputusan yang kita ambil tersebut. Menjalani konsekuensinya, menjadi orang yang berkomitmen kuat atas keputusan yang diambil, tidak mudah mengeluh apalagi sampai ada penyesalan mengapa keputusan itu diambil dan mengapa dulu tidak mengambil keputusan yang lain.

Menikah adalah keputusan yang dibuat dengan persiapan dan lebih banyak kenekatan. Menikah butuh kenekatan, jika kata berani tidak cukup untuk merepresentasikannya, resiko pernikahan tentu bukan hal yang sederhana. Hanya saja, kalau kami terus menerus memikirkan resikonya, mungkin kami tidak akan pernah menikah seumur hidup.

Suatu ketika saat kamu sedang memiliki perasaan kepada seseorang, tiba-tiba muncul orang lain yang memiliki niat terbaik dalam hidupnya untukmu. Apakah kamu berani melawan arah perasaanmu?

Dunia penuh cobaan. Cari pasangan yang bisa diajak berjuang bersama menghadapi itu. Yang bisa mengimbangi, yang ketika kamu marah dia diam meredakan. Ketika dia marah, kamu juga bisa berlaku sebaliknya, diam dan meredakan. Itu kuncinya.

Melanggengkan pernikahan adalah soal strategi. Termasuk menyiasati hal kecil. Stop mempermasalahkan hal kecil dan justru mensyukuri hal-hal kecil yang lain. Tak usah dibesar-besarkan kealpaan pasangan kita. Besarkan saja yang berpotensi menumbuhkan kasih sayang. Rasa-rasanya bakal melelahkan kalau kita selalu mengungkit kerikil yang tak sengaja terinjak, atau prasangka-prasangka yang salah alamat.

Pada dasarnya laki-laki itu liar. Sebab itu, yang terbaik dari mereka adalah yang memiliki kemampuan mengendalikan dirinya sendiri.

Perempuan yang paling cantik adalah perempuan yang mudah bersyukur.

"Ada orang-orang baik yang sengaja dihadirkan dalam hidup kita untuk menguji perasaan kita. Bukan untuk menjadi pasangan hidup kita."

"Pada akhirnya orang-orang yang jatuh cinta akan kembali kepada Tuhan. Setelah jauh ia mencari, pada akhirnya ia hanya bisa meminta."

Dikutip dari: Menentukan Arah - Kurniawan Gunadi & Aji Nur Afifah

Saturday, 14 October 2017

GENAP - Nazrul Anwar

Ceritanya mau nulis kata-kata bagus dari novel dengan judul tersebut di atas. Tapi udah lama nggak nulis. Boleh lah yaa cerita agak banyak dulu, hehe. Kalau mau langsung baca kutipan novelnya, skip ke yang kalimat miring langsung aja yaa.

Jadi ceritanya gini. Pernah banget dulu berdoa, kurang lebih seperti ini. "Ya Allah, pertemukanlah aku dengan orang yang baik agamanya." Terharu banget waktu beneran dipertemukan. Entah sudah rencana-Nya atau memang berkat doaku yang terkabul. 

Dia temen pertamaku waktu kerja. Awal ketemu rasanya langsung ada chemistry padahal beda setahun sampai aku manggilnya nggak pake mbak saking nyamannya wkwkwk. Bisa langsung saling cerita banyak tentang apapun. Rekor buat orang introvert macam aku. Kenal orang ini jadi nonton youtube-nya Ustadz Khalid Basalamah sama Ustadz Syafiq Riza Basalamah. Aku baru sekali denger nama ustadz tersebut waktu itu. Kerjaan youtube-an mulu tapi jarang banget buat searching kajian. Dan ternyata bagus buat nambah ilmu, coba deh ditonton sekali-kali. Sama Ustadz Adi Hidayat, Ustadz Salim A Fillah, dan Buya Hamka, Ustadz Abdul Somad juga bagus. Lumayan pencerahan, bikin adem, banyak ilmu baru meskipun mengubah perilakunya masih belom begitu, hehehe. Selain itu jadi tau buku bacaannya dan akhirnya dipinjemin novel ini.
Kalau ditanya "Genap" itu novel tentang apa, jawabannya tentang awal hidup berumah tangga, tentang cinta dan pembelajarannya. Nih kutipannya. Semoga kalian juga jadi pengen baca, wkwkwk

"Betapa bahagianya aku, ketika kamu, entah di tangisanku yang ke berapa di hadapanmu, hanya diam mendekapku, tanpa berkata-kata. Betapa kesedihanku langsung lenyap seketika karena aku merasa dimengerti, dan betapa lemesnya aku ketika keesokan harinya kamu bilang kalau kamu diam karena kamu lagi capek. Jadi bukan karena kamu ngerti. Aduh, kamu ituh, boleh dilempar pake sendal nggak sih?"  Wkwkwk ngakak lah di bagian ini haha tapi bener kok, kadang perempuan nangis itu cuma butuh puk-puk tanpa banyak kata.

"Awalnya aku cukup kesulitan untuk mengerti apa yang ada di dalam pikiran kamu. Dan aku sangat kesal kalau kamu tak mengerti apa yang sedang aku rasakan. Well, laki-laki cenderung lebih logis sedangkan perempuan cenderung lebih melankolis. Jadi wajar kalau laki-laki lebih suka dengan perempuan yang pikirannya nyambung dengan dirinya. Sedangkan perempuan lebih suka dengan laki-laki yang membuatnya nyaman. Dan mungkin itulah salah satu kekurangan kita di awal awal kebersamaan kita. Kamu belum merasa nyambung denganku. Dan aku belum merasa nyaman denganmu." Intinyanyaman itu lebih horor daripada sekedar ganteng dan kaya, wkwk.

"Seharusnya, semakin besar usaha kita untuk membahagiakan orang lain, semakin besar pula kebahagiaan yang akan kita rasakan. Kalau ternyata dengan membahagiakan orang lain kita tidak tambah bahagia, pasti ada yang salah dengan caranya. Sayangnya, yang terakhirlah yang terjadi padaku, ketika aku berusaha menjadi sosok yang kamu inginkan dalam rangka membahagiakan kamu, aku jadi aku yang bukan aku, yang menyembunyikan kekuranganku yang sekiranya tak kamu suka, yang berusaha menjadi sosok lain yang kamu suka. Khawatir kalau nanti akunya begini nanti kamunya begitu atau kalau akunya begitu nanti kamunya begini. Dan jujur itu sungguh melelahkan." Menjadi diri sendiri tetep pilihan paling bijak sih.

"Sekali lagi, terima kasih sudah menghargai aku. Tapi aku tak mau, kalau hanya untuk menghargai aku, kamu lupa untuk menghargai diri kamu sendiri. Kita harus bisa menghargai diri sendiri sebelum menghargai orang lain, bukan? Karena hanya dengan begitulah kita bisa benar-benar tulus menghargai orang lain. Kalau dengan menghargai orang lain itu kita merasa direpotkan, merasa disusahkan, sebenarnya pada waktu itu kita tidak benar-benar menghargainya. Kita hanya sedang merasa "nggak enak" dengan orang yang dimaksud. Seharusnya menghargai orang lain itu akan berujung pada kelegaan, akan menghasilkan kebahagiaan tersendiri." Jleb banget. Kadang suka menyusahkan diri sendiri, ceritanya melakukan sesuatu buat orang lain, padahal kadang cuma karena nggak enak. Kurang ikhlas intinya hahaha.

"Aku masih ingat dengan jelas pasangan yang menjadi kriteriamu dulu, sosok yang belakangan ini aku berusaha sekuat tenaga untuk menjadi sepertinya. Aku juga masih ingat dengan jawabanku dulu, ketika kamu bertanya tentang pasangan seperti apa yang aku inginkan untuk menggenapi hidupku. Jawaban yang sekarang membuatku malu, jawaban yang seandainya bisa aku ralat, aku akan meralatnya seperti ini: Seseorang yang bisa membuatku nyaman untuk jadi diri sendiri, seseorang yang membuatku tak perlu menyembunyikan apapun darinya, seseorang yang bisa menerimaku apa adanya. Karena aku ingin, kita memulai kebahagiaan dari apa yang sudah ada, bukan dari apa yang belum kita punya." Intinya mah ga usah muluk-muluk.

"Iya, ya, padahal aku sudah tau kalau cemburu itu capek, kenapa juga harus cemburu? Ya sudahlah, namanya juga perasaan, memang begitulah adanya. Datang begitu saja. Sebenarnya pembenaran aja sih, sama seperti jutaan perempuan di luar sana yang menggunakan perasaan sebagai pembenaran. Hehe. Padahal seharusnya, kita bisa mengendalikan perasaan kita, mana perasaan yang harus diungkapkan, mana perasaan yang cukup kita konsumsi sendiri saja." Kalimat terakhir perlu diingat baik-baik haha.

"Rasa cemburu telah melupakan banyak hal yang dulu telah kita sepakati, untuk lebih mendahulukan kewajiban daripada menuntut hak kita. Karena apapun bentuknya, menuntut memang selalu melelahkan. Maka banyak-banyaklah memberi, agar kita tidak punya waktu untuk banyak menuntut. Memberi perhatian, memberi pengertian, juga memberi maaf tanpa diminta. Dan betapa tenangnya kalau kita percaya, betapa leganya kalau sudah tak ada lagi curiga." :"))

"Normalnya, perempuan itu lebih rajin daripada laki-laki. Jadi kalau ada perempuan bawaannya males buat melakukan apapun, bukan berarti perempuan itu tidak sedang melakukan apa-apa. Dia hanya sedang sibuk dengan perasaannya sendiri. Jujur, aku termasuk dalam golongan perempuan kebanyakan itu." Kebiasaan kebanyakan perempuan yang memprihatinkan: menghayati kegalauan. Maunya pengen nggak kepikiran tapi hawanya kalau lagi galau cuma tidur-tiduran, terus masih ditambah lagu-lagu galau. Ya gimana bisa ngga kepikiran. 

"Kita pasti tahu siapa orang yang kita suka, siapa orang yang kita cinta. Bahkan bagi seseorang yang belum menggenap, selalu ada kecenderungan agar orang tertentu yang bersedia menggenapinya lalu hidup berbahagia sebagai pasangan suami istri. Mereka tahu. Hati mereka merasakannya. Hati mereka sudah punya jawabannya. Tinggal masalahnya, mereka berani mengakuinya atau tidak. Bukan masalah berani mengakui apa tidak sebenarnya. Hanya saja, keberanian itu akan membedakan tindakannya. Orang yang berani mengakui perasaannya, tentu akan memperjuangkan apa yang dirasakannya. Sebaliknya, orang yang tidak berani, lebih memilih untuk menyimpannya, untuk melupakannya. Padahal bisa jadi, melupakan lebih sulit daripada memperjuangkan. Walaupun keduanya mungkin sama-sama terhormat bagi orang yang bisa melewatinya. Yang repot itu, tidak mau memperjuangkan tapi tak juga melepaskan. Terjebak pada perasaannya sendiri." Inget-inget tuh kalimat terakhir. Kalau ada yang terjebak, jangan kelamaan hahaha.

"Orang yang dasarnya baik itu nggak pilih-pilih. Dia akan berbuat baik pada siapapun. Kalau ada orang yang baiknya keterlaluan banget sama kita, tapi dia nggak baik sama orang lain, itu sudah pasti baiknya dibuat-buat, baiknya karena ada maunya. Kalau baiknya seperti itu, baiknya akan selesai setelah dia mendapatkan apa yang diinginkannya." Sebenernya wajar suka sama orang terus jadi baik sama orang yang disuka, tapi yang harus digarisbawahi, jangan lupa liat sikap dia ke orang lain kalau mau tau yang bersangkutan beneran baik apa enggak. 

"Aku tak tahu akan seperti apa kehidupanku dengan laki-laki yang baru aku kenal yang akan menggenapiku ini, tak ada yang tahu, Kalaupun nanti setelah menggenap harus repot karena banyak yang perlu disesuaikan, atau barangkali banyak masalah yang perlu diselesaikan, setidaknya aku repot untuk sesuatu yang sudah pasti, untuk sesuatu yang sudah menjadi bagian hidupku, dan memang sudah termasuk kewajibanku. Repot yang berujung pada kebaikan." :")

"Seandainya kamu dihadapkan pada dua pilihan, siapa yang lebih kamu pilih untuk menggenapi kehidupan kamu? Seseorang yang kamu cintai tapi tidak mencintai kamu, atau seseorang yang mencintai kamu tapi tidak kamu cintai?" Biasanya pasti pada milih yang pertama. Aku juga. Dulu. Sekarang yaa belum langsung berubah jadi yang kedua juga, tapi setidaknya sudah terbuka pikirannya tentang hal ini. Baca ini coba.

"Dan dewasa adalah kamu tetap menunaikan kewajiban kamu, seberat apapun kondisi yang menimpa kamu. Dewasa adalah kamu tetap memenuhi hak orang lain atas kamu, semenyebalkan apapun orang yang harus kamu penuhi haknya itu. Dewasa adalah memaafkan orang lain sebelum orang itu meminta maaf, bahkan tetap memaafkan jikapun orang tersebut tak memintanya. Bukan karena memaafkan itu sebuah keharusan, tapi karena dengan tidak memaafkan, kamu akan lebih menyakiti perasaan kamu sendiri. Dewasa tidak selalu kamu yang harus mengalah. Dewasa adalah kamu tau kapan saatnya mengalah. Bukan karena kamu takut ataupun lemah. Tapi terkadang, mengalah memang pilihan yang paling bijak. Dewasa adalah kamu mengurangi ego kamu, sebetapa sedikitpun ego yang kamu rasa. Bukan karena ego itu tidak penting, tapi karena menjaga kebersamaan selalu lebih penting daripada ego kita asing-masing." Ego....seringkali menang tanpa disadari. Kalau kata orang-orang tua: "nek rung wani ngalah ojo nikah".

"Laki-laki yang baik, akan mencari perempuan yang baik, dengan cara yang baik."

"Kamu bukan tanggung jawabku, begitu sebaliknya. Apalah artinya repot-repot menghabiskan pikiran dan perasaan untuk seseorang, yang sebenarnya orang itu bukan tanggung jawabnya kita. Apalah hebatnya berkorban untuk seseorang, yang sebenarnya orang itu tidak layak atas pengorbanan kita. Bukan berarti tak boleh. Hanya saja masih ada yang lebih berhak untuk bersemayam dalam pikiran dan perasaan kita, masih banyak yang lebih layak untuk mendapatkan pengorbanan kita; keluarga kita, orang-orang terdekat kita, orang-orang yang selama ini begitu berarti bagi kehidupan kita, mereka-mereka yang memang menjadi tanggung jawabnya kita. Bukan orang entah siapalah."

Sekian. Tertarik baca nggak?