Kenyataan harus diterima bahwa terkadang tidak ada toleransi bagi
mahasiswa, entah bagi dosen. Mereka yang lebih berkuasa itu sebenarnya mungkin hanya pura-pura mendengarkan, tidak benar-benar mendengarkan pendapat dari mereka-mereka yang berkosultasi kepadanya.
Bermula dari absensi mata kuliah **** saya yang hanya 73%,
saya tidak diperkenankan mengikuti ujian. Biasanya ketidakhadiran sebanyak 3x
tetap bisa mengikuti ujian. Tapi kali ini tidak, karena pertemuan kuliah ****
yang seharusnya diadakan sebanyak 14x pertemuan, hanya diadakan sebanyak 11x
pertemuan. 1x pertemuan tidak ada karena hari libur, 2x pertemuan tidak ada
karena dosennya tidak bisa hadir dikarenakan sedang ada urusan di luar negeri,
dan tidak melaksanakan kuliah pengganti. Saya tidak tahu-menahu bagaimana
hukumnya dosen yang tidak mengadakan kuliah pengganti apakah sebenarnya
dibolehkan atau tidak. Saya hanya berharap ada toleransi bagi saya karena dosen pun ada toleransi tidak mengadakan kuliah pengganti *ngarep.
Oleh karena itu, saya berusaha agar tetap bisa mengikuti ujian. Setelah menemui
seseorang yang bersangkutan saya dianjurkan untuk menemui PPJ Akademik. Setelah
membuat surat, belum sempat dikirimkan, ternyata teman saya sudah menemui dosen
pengampu yang bersangkutan. Setelah berkonsultasi dengan salah satu ibu bagian
TU yang bersangkutan dengan masalah absensi, katanya tidak masalah, kalau
dosennya mengijinkan, berarti diijinkan. Padahal sebenarnya prosedur tersebut
salah. Tapi waktu itu saya sih percaya aja sama ibu tersebut, toh dia lebih berpengalaman,
sudah disitu bertahun-tahun. Saya bertanya apakah saya harus tetap ke PPJ
akademik, beliau bilang tidak usah. Mungkin, ibu TU tersebut juga
sebenarnya tahu bahwa saya boleh mengikuti ujian, tetapi nilai yang keluar
tetap E, tapi beliau tidak mengingatkan atau mungkin memang beliau benar-benar
tidak tahu. Kalau beliau memang tidak tahu, berarti ada beda pendapat antar Ibu
TU, hmmmm.
Surat yang sudah ditandatangani dosen pengampu tersebut saat itu saya serahkan ke ibu TU yang mengurusi absensi tersebut, yang ternyata tidak pernah sampai ke Kajur dan akibatnya tidak mendapat disposisi. Itulah alasan ibu TU bagian nilai tetap mengeluarkan nilai E. Beliau bilang, harusnya surat tersebut masuk ke Kajur dengan terlebih dahulu konsultasi dengan PPJ Akademik. Dan saat ini, sudah terlambat waktunya untuk mengurus.
Surat yang sudah ditandatangani dosen pengampu tersebut saat itu saya serahkan ke ibu TU yang mengurusi absensi tersebut, yang ternyata tidak pernah sampai ke Kajur dan akibatnya tidak mendapat disposisi. Itulah alasan ibu TU bagian nilai tetap mengeluarkan nilai E. Beliau bilang, harusnya surat tersebut masuk ke Kajur dengan terlebih dahulu konsultasi dengan PPJ Akademik. Dan saat ini, sudah terlambat waktunya untuk mengurus.
Saya tidak putus asa. Saya kembali menemui ibu TU bagian
absensi, intinya beliau hanya bilang “Saya tidak bisa berbuat apa-apa karena nilai
bukan tanggung jawab saya, saya hanya bertugas mengurus absen.” Saya bertanya
solusi terbaiknya bagaimana, beliau bilang saya harus menemui TU bagian nilai.
Saat teman saya menemui beliau, beliau cukup saklek ternyata. Apapaun yang
dikatakan teman saya, beliau hanya bilang “Peraturan UGM harus 75%, kurang dari
itu artinya E.” Benar-benar tidak ada tawar menawar. Akhir kata, beliau hanya
bilang “Nanti coba saya rapatkan.” Tapi ternyata kalimat itu tidak lebih dari
usiran halus agar saya berhenti mengejar-ngejarnya. Nyatanya tidak ada kabar
apapun setelah itu.
Saya kemudian menemui PPJ Akademik. Saya jelaskan masalah
saya. Beliau menanggapi dengan, “Yang kamu omongkan itu saya tidak tahu benar
atau salah, saya perlu bukti.” Intinya, beliau minta saya buat surat ke Kajur
yang harus ditandatangani Dosen Pengampu. Saya optimis. Saya pun akhirnya membuat surat. Seperti ini:
Surat yang pada akhirnya tidak pernah ada yang membacanya kecuali saya sendiri.
Ketika saya meminta tanda tangan Dosen Pengampu, belum apa-apa beliau langsung
nyeletuk, “Saya tidak mau membuka diskusi tentang ini, urusan saya hanya
mengajar dan memberikan nilai ke TU, selesai.” Dan benar-benar beliau tidak mau
mendengar penjelasan sepatah kata pun.
Saya mendapat ide untuk menarik surat yang pernah saya buat, yang dulu pernah ditandatangani Dosen Pengampu, yang tidak pernah sampai ke
Kajur, yang ternyata mengendap di Ibu TU bagian nilai. Sebagai bukti.
Seperti dugaan saya, ibu TU tersebut tidak mengijinkan saya
menarik kembali suratnya. Beliau sepertinya tahu maksud saya dan langsung
bilang, “Nilai anda tidak akan berubah.” Padahal belum juga jelasin apa-apa.
Saat saya bilang saya benar-benar butuh karena bagian PPJ minta bukti yang sudah
ditandatangi Dosen Pengampu, beliau bilang “Nanti biar saya yang berdiskusi
dengan Bapak PPJ Akademik.”
Saya teringat lampiran absen yang menunjukkan bahwa Dosen
Pengampu memang tidak masuk 2x dan tidak mengadakan kuliah pengganti. Saya
fotocopy, kemudian saya bawa sebagai bukti untuk menemui PPJ Akademik. Saya
masuk ruangan, saya jelaskan bahwa Dosen Pengampu tidak bersedia untuk tanda
tangan. Beliau bilang, “Ya sudah, surat anda tidak bisa masuk ke Kajur tanpa
tanda tangan beliau.”
“Tapi, Pak. Bapak kan minta bukti. Ini juga bukti Pak bahwa
yang saya katakan memang benar.” (sambil saya tunjukkan lampiran absen)
Saya tidak begitu ingat kata-katanya, intinya beliau
tidak mau kalau Dosen Pengampu tidak terlibat, karena surat saya
melibatkan si Dosen Pengampu, jika tanpa persetujuan Dosen Pengampu, maka
beliau telah berbuat dosa, mendzolimi si Dosen Pengampu. Hmm.
Setelah berdebat panjang, tetap tidak ada toleransi bagi
saya. Saya sudah tahu sudah tidak ada harapan lagi. Saya iseng bertanya satu
hal karena penasaran.
“Kalau memang nilai saya tidak bisa berubah, boleh tidak Pak saya bertanya satu hal? Saya hanya ingin tahu, sebenarnya jika dosen tidak hadir apakah beliau wajib
mengadakan kuliah pengganti ?”
Saya bertanya seperti itu hanya ingin tahu saja, dan jika
memang dosen tidak wajib mengadakan kuliah pengganti, saya sangat ikhlas sekali
menerima keputusan ini, karena itu artinya saya yang salah. Saya hanya ingin
ada aturan yang jelas. Karena, syarat
kehadiran mahasiswa saja jelas, kenapa syarat kehadiran dosen tidak jelas? Tidak ada hitam diatas putih. Kalaupun sudah ada, ya saya hanya ingin bertanya
karena saya benar-benar tidak tahu, kenapa tidak langsung dikasih tahu? Begitu
dikasih tahu, kan selesai sudah.
Kemudian beliau menjawab, “Kamu itu memang membuat masalah
semakin rumit. Kamu mau menyalahkan dosen? Harusnya kamu tidak masuk 3x, itu
sudah jelas kamu yang salah. Mahasiswa itu hadir harusnya 100%, 25% itu bukan
jatah untuk dihabiskan. Kamu disini dikirim untuk kuliah. Bla bla bla”
Hmm saya kira jawabanya tidak nyambung, meskipun
dalam perkataannya ada benarnya juga.
Ada lagi perkataan beliau yang masih membekas.
“Kamu pernah mengikuti kuliah Pak ***** ?”
“Belum Pak.”
“Kalau pernah, saya yakin kamu akan paham. Jika ada
ketidaknormalan, sepantasnya memang diabaikan.”
Jadi, kasus seperti saya ini dianggap tidak normal. Artinya
suara saya yang minoritas ini tetap tidak akan didengar karena beliau hanya mau
mendengar yang normal, mayoritas.
Sebenarnya saya juga tidak terlalu peduli atau menyalahkan
beliau yang tidak mengadakan kuliah pengganti. Saya hanya ingin diberi
toleransi, karena dosen tersebut juga mendapat toleransi tidak mengadakan
kuliah pengganti. Atau kenapa tidak dari awal saja saya tidak boleh mengikuti
ujian dengan alasan apapun jika endingnya hanya seperti ini. PHP. BANGET.
Dugaan saya, beliau mau cari aman aja. Kalau masalah ini
dibawa ke rapat itu artinya akan menyudutkan Dosen Pengampu. Kalau buktinya
hanya kertas absensi, bukan tanda tangan Dosen Pengampu, itu artinya beliau
memihak saya. Mungkin pekewuh kalau istilah jawanya.
Sebenarnya hal ini juga terjadi untuk mata kuliah **. Dosen
Pengampu tidak mengadakan kuliah pengganti sebanyak 7x, dan mahasiswa yang
absensinya kurang tetap akan dikeluarkan nilainya setelah adanya rapat besar
yang membahas hal ini (kata Ibu TU saat saya mengadu masalah ini). Jika benar,
dugaan saya, hal itu karena Dosen Pengampu tersebut bukan dari jurusan (dari fakultas lain),
sehingga tidak ada lagi pekewuh saat diadakan rapat besar. Kalaupun alasannya
karena jumlahnya yang berbeda sehingga untuk ** ada toleransi dan **** tidak,
itu sama aja kayak korupsi yang kecil dibiarkan, sedangkan korupsi yang besar
baru diurus.
Intinya, selama UAS saya mengurus masalah ini, saya belajar
dan mengikuti UAS **** tidak ada gunanya bukan? Hanya menambah beban pikiran
dan memperburuk nilai yang lain. Pelajaran yang
didapat, jangan mudah percaya pada perkataan satu orang agar tidak terjadi kesalahan prosedur, atau jika tidak tahu maka bertanyalah pada
orang yang paling berkuasa karena dialah kuncinya, yang paling berhak (?) memutuskan sesuatu.
Sekali lagi ini hanya curhat, pendapat saya, sangat
subjektif. Dan semua orang bebas berpendapat. Mohon maklum.
Untuk orang-orang yang berkuasa, tetap hargailah pendapat
minoritas, sampaikan dengan sebijaksana mungkin jika memang permohonan yang diajukan ditolak, bukan dengan ketidakjelasan dan perkataan yang
menyebalkan.
Ini juga teguran bagi saya yang dulu sering membolos. Salah siapa sering bolos, haha. Hukum
alam. Jika nasihat tak mampu membuatmu jera, maka kejadian pahit itu lebih dari
sekedar nasihat, obat yang lebih manjur dari nasihat untuk membuat seseorang
jera. Seseorang pernah bilang, mungkin mengutip dari hadist "Mudahkanlah urusan orang lain, maka Allah akan
memudahkan urusanmu." Mungkin saya pernah mempersulit urusan orang, jadi ini
balasannya, dipersulit. Sekali lagi, semua pasti ada hikmahnya. Harus selalu
bersyukur. Tetep semangaaat :)))))
No comments:
Post a Comment