Saturday 28 February 2015

Supernova: PARTIKEL

Cerpen Dee yang berjudul "Filosofi Kopi" bagaikan magnet yang membuat saya tertarik untuk membaca novelnya. 
Di antara Partikel, Akar, dan Petir, Partikel adalah yang paling bagus menurut saya (fyi, saya tidak menganggap novel-novel tersebut adalah bagian dari serial supernova, saya baca tidak berurutan, semau saya saja, masa bodoh dengan misteri yang ada di dalam supernova haha).
Partikel adalah sebuah mahakarya yang KAYA, CERDAS, DALAM, dan MEMBUKA MATA. Meskipun sesekali terselip pengetahuan yang menurut saya ditulis terlalu detail -yang menurut saya tidak perlu- sehingga membuat kening saya berkerut *maaf subjektif banget yang ini :p*. Yaa anggap saja bagian tersebut adalah bacaan ilmiah yang dapat menambah wawasan.
Novel ini menceritakan tentang dampak perbedaan yang akhirnya memaksakan sebuah perpisahan. Tentang pencarian jati diri, tentang masa lalu yang menghantui, tentang penyerahan diri dan kepercayaan, tentang hubungan manusia dengan alam, dan masih banyak lagi. Kalau mau tahu ceritanya bisa baca sinopsisnya disini
Saya cuma mau mengutip kata-kata yang saya suka dari novel ini

Kehidupan seorang Zarah dimulai.
“...manusia telahir ke dunia dibungkus rasa percaya. Tak ada yang lebih tahu kita ketimbang plasenta. Tak ada rumah yang lebih aman daripada rahim ibu. Namun, di detik pertama kita meluncur ke luar, perjudian hidup dimulai. Taruhanmu adalah rasa percaya yang kau lego satu per satu demi sesuatu bernama cinta.”

“Setiap pertanyaan selalu berpasangan dengan jawaban. Untuk keduanya bertemu, yang dibutuhkan hanya waktu.”

Bagi Zarah, ayahnya adalah segalanya.
“Jangan pisahkan dirimu dari binatang."
"Biar apa, Ayah?"
"Biar kamu tidak sombong jadi manusia," ujarnya sambil tersenyum.”


“Banyak hal yang nggak perlu kedengeran bunyinya, tapi kelihatan dari tindakannya.”
 
Saat ayahnya menghilang, Zarah pikir dengan sekolah dia bisa mencari ilmu dan memahami jurnal ayahnya yang diberikan padanya, berharap kemudian ia bisa menemukan ayahnya. Di sekolah, Zarah berhadapan dengan berbagai konflik. Dia yang terbiasa diajar oleh ayahnya gagal menyesuaikan diri di sekolahnya. Dengan ayahnya, belajar adalah sesuatu yang mengasyikkan, sementara belajar di sekolah adalah sesuatu yang membosankan, tidak memberikan ruang baginya dan menekannya.
Kenapa berbeda menjadi begitu menakutkan? Aku berpikir dan berpikir. Dan tetap aku gagal memahami....Kali ini aku berempati pada ayah. Kesulitannya, rasa putus asanya kepada lingkungan sekitarnya, dan betapa lemahnya terisolasi sendiri tanpa ada yang memahami. 

Suatu hari ibunya dipanggil oleh sekolah karena Zarah menurut guru agamanya sudah keterlaluan. Kakeknya semakin murka dan putus asa terhadapnya.
Mengapa mereka harus meradang karena pertanyaan-pertanyaanku? Seolah-olah semua semua yang ku ucapkan adalah hinaan? Kenapa mereka tidak bisa melihatnya semata-mata sebagai pertanyaan? Mengapa kata "agama" dan "Tuhan" menyulut api dalam setiap hati orang yang kutemui? Dan sungguh aku muak dengan kata satu itu. Ateis. Bagiku, ini bukan soal percaya atau tidak percaya, melainkan tidak ada kesempatan untuk mempertanyakan.

Teman Zarah adalah kamera-nya. Dia belajar fotografi dengan teman baik ayahnya, salah satu orang yang mau mendengarkan ayahnya. Zarah seketika teringat momen bersama ayahnya.
Aku bertanya, "Bisa tahu bedanya yang mendengar dengan sepenuh hati dan enggak, gimana caranya, Yah?"
"Kalau lawan bicaramu mendengar dengan sepenuh hati, beban pikiranmu menjadi ringan. Kalau kamu malah tambah ruwet, meski yang mendengarkanmu tadi seolah serius mendengarkan, berarti dia tidak benar-benar hadir untukmu," jawab Ayah. 

Bakat fotografinya secara tidak terduga membawa Zarah ke Kalimantan, sebuah ekowisata yang merupakan hadiah yang dia dapatkan sebagai pemenang lomba. 
“...Berkesempatan melihat tanah airku dari ribuan kaki di atas permukaan laut menyadarkanku atas kebenaran kata-kata Ayah dulu. Hutan Kalimantan tidak selebat yang kubayangkan. Tampak bolong-bolong luas dimana-mana. Hutan yang tinggal jadi sejarah. Tebaran atap serta padatnya pemukiman manusia terlihat bagai sel kanker yang menyebar. Menggerogoti hijaunya hutan. Dari atas sini, aku melihat Kalimantan yang terluka.”

Perbedaan Sekonyer Kiri dan Kanan adalah bukti yang kasatmata. Gamblang. Sekonyer kanan menunjukkan air sebagaimana alam menghendakinya. Sekonyer Kiri menunjukkan air yang terus-terusan diperkosa manusia.

“Manusia berbagi 63% kesamaan gen dengan protozoa, 66% kesamaan gen dengan jagung, 75% dengan cacing. Dengan sesama kera-kera besar, perbedaan kita tidak lebih dari tiga persen. Kita berbagi 97% gen yang sama dengan orang utan. Namun, sisa tiga persen itu telah menjadikan pemusnah spesiesnya. Manusia menjadi predator nomor satu di planet ini karena segelintir saja gen berbeda.”

Pengalamannya selama berada di ekowisata membuat Zarah seketika ingin tinggal di Tanjung Puting. Berusaha mencari celah pada Ibu Inga agar mengijinkannya tinggal sebagai salah satu relawan disana.
"Kenapa kamu disini, Zarah?"
"Saya mencari rumah, Bu," jawabanku meluncur begitu saja. "Mungkin bisa saya temukan disini."
"Saya percaya, rumah itu ditemukan di dalam," katanya lembut sambil menempelkan tangannya di dada. "Kalau di dalam damai, semua tempat bisa menjadi rumah kita."

Zarah kemudian benar-benar tinggal di Tanjung Puting. Mengasuh Sarah, bayi orangutan yang ditinggal mati ibunya karena ulah manusia.
"You need to remind yourself, over and over again, they're not humans,"
"Kita pikir mereka yang akan susah melepaskan ketergantungannya kepada kita. Dari pengalaman saya, justru sebaliknya. Manusialah yang lebih sulit melepas. We're built for drama, while they will be orangutans," lanjutnya.

Mungkin karena itulah Ibu Inga berkali-kali memperingatkan kami, para pengurus orangutan, untuk memiliki jarak yang sehat dengan orangutan yang kita urus. Setelah sekian lama kita menjalin hubungan dengan mereka, tanpa sadar kita menganggap mereka serupa manusia. Dan sebagaimana manusia adalah makhluk yang selalu dikejar ekspektasi, tak ayal kita menciptakan aneka ekspektasi yang membebani hubungan kita dengan orangutan.

Zarah akhirnya pulang ke rumah, pulang untuk pamit pergi ke London. Perang dingin dengan ibunya masih berlangsung. Jurnal ayahnya yang dibakar masih membayang.
Hatiku pedih ketika sadar ucapan Ibu ternyata benar. Akulah yang belum memaafkannya. Tak ada yang lebih menyakitkan dari kepedihan yang tak bisa ditangiskan.

Sosok Paul dan Zarah yang pemberani.
"Kalau begitu, kenapa tadi kamu marah?"
"Dalam grup kecil kita tadi siang, harusnya saya yang jadi jantan superior...........Sepercaya-percayanya saya sama emansipasi perempuan, pada situasi seperti tadi, sayalah yang harusnya melindungi kamu. Nah, kembali ke pertanyaanmu. Apakah saya marah? Nggak. Saya nggak marah. Saya cuma bereaksi sebagaimana normalnya jantan yang harga dirinya terluka.

Zarah akhirnya mengambil kesempatan menjadi fotografer wildlife. Bergabung dengan The A Team yang dikoordinasi oleh Paul.
“...Nggak semua orang bisa diam di dalam batang kayu dua jam untuk memotret buaya dari jarak dekat. Kalau kamu nggak ambil foto ini, bagaimana kita bisa tahu rasanya kontak mata dengan buaya? Nggak semua orang bisa tahan berbulan-bulan di Arktik mengintili beruang kutub. Kalau nggak ada yang melakukannya, bagaimana orang di belahan dunia lain bisa tahu betapa penting dan indahnya beruang kutub. Bagi saya, fotografi wildlife adalah jembatan orang banyak untuk bisa mengenal rumahnya sendiri. Bumi ini. I see our profession as an important bridge that connects Earth and human population. We’re the ambassador of nature.”

Keadaan yang menegangkan tak luput dialamai Zarah selama bertugas. Kesadarannya seringkali terlambat terhadap bahaya yang mengancam. Pernah ia berendam di danau dengan ketakutan karena jaraknya sungguh sangat dekat dengan object, tetapi insting fotografernya tetap tidak hilang. Rasanya seperti hampir mati. Singa itu bisa memangsanya kapanpun.
Meski singkat, aku telah diberi kesempatan merasakan hidup di tengah-tengah mereka tanpa memakai sudut pandang manusia. Ukuranku yang "menciut" memampukanku melihat betapa megahnya makhluk-makhluk itu. Status kami yang berubah sejajar mengingatkanku bahwa kerajaan manusia dan hewan pada hakikatnya sama. Kami sama-sama penumpang di Bumi. Tak ada yang lebih unggul.
Kembali ke London, ke kota modern yang dirancang semaksimal mungkin untuk kenyamanan manusia, di mana kita terlindungi dari cuaca ekstrem, hidup dalam terang artifisial, didukung kenyamanan barang-barang sintetik, aku berharap aku tidak lupa. Aku berharap hangatnya air bersih dan melimpahnya busa wangi di bathtub ini tidak membuatku amnesia. 
Kita cuma penumpang

London. Kota yang mempertemukan Zarah dengan sahabat lamanya. Koso. Teman sebangku saat di sekolah dulu. Satu-satunya teman. Orang yang membuat Zarah, pemilik otak cerdas yang rela tinggal kelas demi membantunya yang kesulitan belajar akibat disleksia yang dideritanya -dan demi agar dirinya tidak sendirian, naik kelas dan tidak punya teman sebangku adalah mimpi buruk. London. Kota yang mempertemukannya dengan Storm, fotografer bidang fashion ternama yang mampu membiusnya dengan karisma dan perlakuannya terhadapnya. Membuatnya tidak mampu melihat cinta terpendam seorang Paul -yang selalu ada untuknya.
Dan cukup dua menit untuk menyadari aku jatuh cinta. Bukan. Bukan lagi jatuh. Aku terjun bebas. Tanpa tali pengaman. Tanpa lagi peduli apa yang menyambutku di dasar sana-kalau memang ada dasarnya.
Cintaku kepada Storm menembus batasan waktu. Menembus batasan akal. Karena itulah, aku buta. Tak kulihat apa yang seharusnya sudah lama terlihat.
Storm adalah semacam Brutus dalam sejarah Romawi, orang yang didesain untuk menancapkan belati ke punggung, menembus jantung, dan terkaparlah aku akibat pengkhianatannya. Koso ibarat Iago dalam pentas Othello, orang terdekat yang dirancang untuk mengingkariku secara keji dan sistematis. Mereka adalah virus yang disusupkan ke dalam sistem. Dorman, tak berdosa, membuai kita hingga waktunya tiba untuk mereka bangun dan menyerang tanpa ampun.
Kembali, dua orang terpenting dalam hidupku, terbukti mampu melambungkanku tinggi sekaligus menghancurkanku sekali jadi. Lagi-lagi, aku kalah berjudi.

Pencarian Zarah perihal ayahnya akhirnya membuahkan hasil dengan bantuan Paul. Ia bertemu dengan seseorang yang dulu memberinya kamera spesial pada hari ulang tahunnya. Salah satu clue tentang ayahnya yang menghilang. Meskipun pada akhirnya dia belum menemukan ayahnya, banyak yang ia temukan dari pertemuannya dengan Simon Hardiman.
“Itulah satu hal yang tidak bisa kamu palsukan: intention," jelas Dave. "Mau manusia atau ET, saya rasa itu hukum universal. Intention speaks louder than any code.” (saat melihat fenomena crop circle)

"Menjadi kuat bukan berarti kamu tahu segalanya. Bukan berarti kamu tidak bisa hancur. Kekuatanmu ada pada kemampuanmu bangkit lagi setelah berkali-kali jatuh. Jangan pikirkan kamu akan sampai dimana dan kapan. Tidak ada yang tahu. Your strength is simply your will to go on.

Kita tidak bisa memakai keterbatasan logika untuk memahami kompleksnya dimensi lain. Kalau logikamu tidak sanggup mengikuti, tapi intuisimu merasakan sesuatu, bukan berarti kita pasti salah kan? Buat saya, segalanya mungkin.

"Hilang tanpa bekas," Pak Simon tertawa. "Tapi, bukan berarti dia nggak bisa balik lagi kan? Bedanya, sekarang saya nggak takut lagi. Persepsi saya jadi berubah..................., membuka mata saya bahwa penyakit bukan sekedar gangguan. Tapi kode. Kode dari tubuh bahwa ada hal dalam hidup kita yang harus dibereskan."

Sekian.
Terimakasih kepada Ita Sholihatin -pembaca setia Dee- yang telah berkenan meminjamkan novelnya. Saya tunggu koleksi selanjutnya, Inteligensi Embun Pagi wkwkwk *nggak modal*.

No comments:

Post a Comment