Friday 9 September 2016

Pramoedya Ananta Toer: Bumi Manusia #TetralogiBuru

 
Pendahuluan (1)
Bumi Manusia. Buku pertama dari "Tetralogi Buru" karya Pramoedya Ananta Toer. Novel berbau sejarah pertama yang saya baca. Menarik dan menggugah. Bahkan saya meneteskan air mata di halaman sebelum terakhir. Fyi, saya jarang lho baca novel bisa sampai nangis. Kalau nangis berarti itu beneran mengaduk-aduk emosi. Pertama kali tergelitik membaca karena salah satu teman saya yang kebanyakan bacaannya bermutu membaca ini dan memberi rating 5 dari 5. Makin pengen baca ketika banyak nemu quote bagus dari penulis ini. Beberapa diantaranya:
“Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain pandai”
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan” 
“Semua yang terjadi d bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir” 
“Setiap ketidakadilan harus dilawan, walaupun hanya dalam hati.”
“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.”  
“Kau harus bertindak terhadap siapa saja yg mengambil seluruh atau sebagian dari milikmu, sekalipun hanya segumpil batu yang tergeletak di bawah jendela. Bukan karena batu itu sangat berharga bagimu. Azasnya: mengambil milik tanpa ijin: pencurian; itu tidak benar, harus dilawan.” 
“Apa yang sudah dibaca Kartini digenggamnya terus di dalam tangannya, dan ikut memperkuat moralnya” 
“Kalau mati, dengan berani. Kalau hidup, dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya bangsa asing bisa jajah kita.”   
Pendahuluan (2)
Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu sastrawan besar Indonesia yang sudah mendapat banyak penghargaan. Karyanya sudah ada yang diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Namanya pun berkali-kali masuk dalam daftar kandidat pemenang Nobel Sastra. Beliau banyak menghabiskan hidupnya di penjara baik pada masa kolonial, orde lama, maupun orde baru. Salah satu penyebabnya adalah dituduh terlibat dalam PKI. Beberapa tahun kemudian, beliau terbebas dari tuduhan dan dinyatakan tidak bersalah. Beliau mengaku tidak memihak ideologi manapun, ia berprinsip hanya memihak pada keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Tetralogi Buru adalah karya yang ia buat selama menjadi tahanan di Pulau Buru, tokoh Minke sendiri terinspirasi dari kisah nyata salah seorang jurnalis Indonesia.
Isi
TOKOH. Minke. Pribumi. Pelajar HBS (sekolah menengah untuk belanda dan elit pribumi). Putra dari Bupati tetapi lebih suka untuk tidak mengakuinya karena tidak sependapat dengan prinsip ayahnya. Prinsip yang dianut jawa kebanyakan, harus tunduk pada orang yang lebih tua dan lebih berkuasa, bahkan terhadap Bupati, harus merangkak dan menyembah. Sosok pemuda yang tidak mau ditindas. Pandai memberi pengaruh dengan tulisan-tulisannya. Mengagumi Eropa dengan segala ilmu dan kemajuannya. Pada awalnya merasa rendah diri menjadi seorang pribumi. Mama. Seorang gundik (perempuan yang harus mengabdikan hidupnya untuk Tuannya). Ia dijual oleh orang tuanya sendiri. Ayahnya gila kekuasaan dan ibunya adalah seorang istri yang tak berdaya di depan suaminya. Ia tak bersekolah. Saat menjadi gundik, ia suka membaca buku-buku Tuannya. Cepat belajar. Pengetahuan luas. Mental baja. Tegas. Pemberani. Pekerja keras. Tidak tergantung orang lain. Mampu memimpin sebuah perusahaan besar (untuk ukuran perempuan pada jamannya yang kebanyakan hanya boleh mengerti urusan dapur dan tidak pernah punya keberanian, hal itu sangat mengagumkan). Ia pun tidak merasa rendah diri oleh sebab statusnya yang hanya seorang gundik. Ia tetap berusaha keras mengubah nasibnya dan anaknya. Jean Marais. Sahabat Minke. Pelukis dari Perancis. Berpindah dari negara satu ke negara yang lain untuk menemukan sesuatu yang menghidupkan jiwanya. Sosok yang adil dan bijaksana.

CERITA berawal dari Suurhof, teman sekolah Minke -seorang belanda berwatak licik- yang mengajaknya ke rumah Annelies -perempuan Indo dengan kecantikan luar biasa (putri pemilik perusahaan dan perdagangan yang memiliki rumah bagai istana)-. Suurhof menantang Minke untuk menaklukkan Annelies, meskipun sebenarnya Suurhof menyukai Annelies. Dia berpikir tidak mungkin seorang pribumi seperti Minke bisa menaklukkan AnneliesMereka sering berkunjung hingga akhirnya Annelies jatuh cinta pada Minke -meskipun ia 'hanya' seorang pribumi. Nyai Ontosoroh (Mama) merasa senang Annelies menemukan teman. Dia pun juga menyukai kepribadian Minke, bahkan ia sangat berharap Minke mau tinggal di rumahnya. Minke diam-diam juga mengagumi Mama,  ia pun ingin tahu terhadap hal apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarga tersebut. Ia diliputi rasa penasaran. Kenapa pemikiran dan kepribadian seorang Nyai bisa begitu memukau? Kenapa Robert, kakak Annelies tidak pernah terlihat menghargai dan menganggap Nyai Ontosoroh ada? Kemana pula Ayah Annelies? Dan apa benar hatinya telah jatuh pada Annelies?

Tuan Mellema (Ayah Annelis) sebenarnya menentang kunjungan Minke, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa di hadapan gundiknya. Robert Mellema, kakak Annelies, tidak menyukai keberadaan Minke. Dari Darsam (pelindung dan pengikut setia Mama -orang Madura yang ditakuti karena parangnya), Minke tahu Robert berniat hendak membunuhnya. Hal yang membuatnya gentar untuk datang kembali menemui Annelis. Akankah perasaannya terhadap Annelies mampu melumpuhkan ketakutannya?

Konflik lainnya adalah kematian Tuan Mellema di tempat plesiran (semacam perjudian dan pelacuran) -yang membuat Nyai Ontosoroh dipanggil pihak kepolisian. Minke pun kena getahnya. Ayahnya murka. Tapi Minke tidak peduli. Pada orang tuanya, ia hanya peduli pada Bundanya, orang yang selalu mengerti dan mendukung apapun keputusannya. Konflik mengerucut ketika kenyataan bahwa Minke tinggal di rumah perempuan yang bukan istrinya menarik perhatian publik dan berakibat pada dikeluarkannya Minke dari HBS. Semua ramai mengungkit masalahnya. Namun, kenapa tak pernah ada yang peduli ketika sampai sekarang masih saja ada yang memperjualbelikan manusia? Minke merasa diperlakukan tidak adil. Hanya satu gurunya yang peduli dan membelanya, Magda Petter -yang akhirnya diusir dari Hindia.

Konflik berlanjut dengan Maurits Mellema, putra hasil perkawinan sah Tuan Mellema dengan istrinya di Belanda yang ditinggalkannya, datang mengungkit harta warisan. Bukan hanya rumah, perusahaan, dan seluruh kekayaannya melainkan Annelies pun diambil hak asuhnya olehnya -karena dianggap masih di bawah umur. Membayangkan akan kehilangan Minke dan Ibunya, harus ikut ibu tiri dan kakak tirinya di Belanda, Annelies -yang rapuh- sakit keras. Mama merasa perjuangannya selama ini dalam memajukan perusahaan selama berpuluh-puluh tahun seolah tak ada gunanya. Perkawinan Minke dan Annelis yang dilaksanakan menurut Islam pun tak diakui hukum. Siapa peduli hak manusia? Akar masalah sebenarnya hanyalah dilahirkan sebagai pribumi adalah salah, bagaimana bisa menang berhadapan dengan kulit putih di bawah hukum Pengadilan Putih? Mereka tak bisa melawan. Hanya dengan tulisan Minke mengungkapkan kekecewaannya. Meskipun mendapat banyak dukungan dari media massa dan juga beberapa pihak, semua tak ada artinya di bawah hukum Pengadilan Putih.

QUOTE.
"Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri" (Mama)
"Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput.'' (Mama)
"Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.'' (Mama) 
“Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima.” (Mama) 
“Apakah guna sekolah-sekolah didirikan kalau toh tak dapat mengajarkan mana hak mana tidak, mana benar mana tidak?” (Mama)
 "Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. (Jean Marais)
"Tak pernah ada perang untuk perang. Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini...ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga daripada hanya mati, hidup atau kalah-menang." (Jean Marais)
“Kasian hanya perasaan orang berkemauan baik yang tidak mampu berbuat. Yang terpuji memang dia yang mampu melakukan kemauan baiknya.” (Jean Marais) 
"Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.'' (Minke)   
"Ternyata semakin banyak bergaul semakin banyak persoalan, yang sebelumnya tak pernah kubayangkan ada, kini bermunculan seperti cendawan.” (Minke) 
"Kau akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, dan berhasillah kau; anggap semua pelajaran mudah, dan semua akan menjadi mudah; jangan takut pada pelajaran apapun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua.” (Nenenda) 
"Suatu bangsa yang telah mempertaruhkan jiwa-raga dan harta benda untuk segumpal pengertian abstrak bernama kehormatan.'' (Miriam de la Croix)  
"Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas." (Bunda) 
"Cinta tak lain dari sumber kekuatan tanpa bendungan bisa mengubah, menghancurkan atau meniadakan, membangun atau menggalang." (Dr. Martinet) 
"Jepang mencoba meniru Inggris di perairan dan pengarangnya memperingatkan agar menghentikan ejekan terhadap bangsa itu sebagai monyet peniru. Pada setiap awal pertumbuhan, semua hanya meniru. Setiap kita semasa kanak-kanak juga hanya meniru. Tetapi kanak-kanak itu pun akan dewasa, mempunyai perkembangan sendiri..” (kutipan majalah)

Penutup.
Akhir kata, recommended banget novel ini buat dibaca remaja maupun dewasa. Gambaran saat masyarakat Indonesia masih terbelakang, masih dikuasai Belanda. Pram menceritakannya secara cerdas, membuat pembaca seolah-olah berada pada masa itu, menyaksikan langsung berbagai peristiwa yang terjadi, membuka pikiran kita tentang kehidupan dalam masa pemerintahan Hindia Belanda. Namun, ada yang sedikit mengganggu saat membaca novel ini, yaitu penulisannya. Misalnya spasi yang kelewat di antara dua kata.
Membaca novel ini mengingatkan saya pada quote yang pernah saya baca entah dimana "Jangan pernah takut akan kesendirian dan terasing jika kamu mempertahankan prinsip yang benar".
Sekian dari saya. Selamat membaca.

PS: Terima kasih kepada Nuha Fairusya yang telah meminjamkan novel ini :)

No comments:

Post a Comment