Sunday 16 December 2018

Dualima

Haloo gaes. Lama tak jumpa. Udah lama nggak nulis nih kayaknya. Inget ngeblog kalau mau nyampah doang soalnya wkwkwk. Mungkin pengen nyampah karena efek menjelang ganti umur kali ya. Apalagi tahun ini saya bentar lagi seperempat abad. Ya Allah... Masih suka mikirin hal-hal receh yang harusnya nggak perlu dipikirkan ketika sudah berumur seperempat abad. Waktunya masih banyak terbuang buat ngelakuin hal-hal yang tak berfaedah. 
Mungkin ini beberapa hal yang mesti saya kurang-kurangin mulai dari sekarang.

Don't assume. Ask. Don't wanna ask? Think positive.
Pernah nggak sih kalian berasumsi terhadap apa yang dilakukan seseorang ataupun terhadap sikap seseorang kepada kita? Yang kemudian mengarah pada "overthinking" dan kemungkinan terarah ke "negatif thinking" dan berefek pada pikiran yang tidak sehat kemudian berujung pada merugikan diri sendiri. Padahal dulu waktu SMA atau awal-awal kuliah saya mah orangnya bodo amat, cuek, peka nggak terlalu, sensitif juga kagak. Efek pengalaman hidup kali ya. Atau mungkin gara-gara keseringan dikatain nggak peka terus kebanyakan introspeksi akhirnya sekarang jadi gini. Bagus sih jadi peka, tapi masalahnya kok jadi lebih sensitif juga ya? Hahaha. 
Kadang saya merasa saya bisa membaca orang sehingga secara otomatis suka berasumsi mengapa si A begini dan begitu. Padahal belum tentu benar. Bahkan orang yang kita kenal dekat sekalipun, kita sebenarnya tidak akan pernah tahu persis apa yang ada di pikirannya. Intinya, jangan cepat menyimpulkan. Semua orang itu unik. Masalah atau hal yang sama bisa memunculkan ratusan macam feedback karena orang beda-beda. Dilahirkan dari latar belakang berbeda, hidup di lingkungan berbeda, beda DNA, dan sebagainya. Nggak sesederhana dia itu "aries", golongan darahnya A, tipe ENTP, jadi bla bla bla. Kalau kata Pramoedya, "Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, peradabanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput."
Kadang kita juga menyimpulkan sikap seseorang dalam menghadapi sesuatu berdasarkan cara kita menghadapi sesuatu. ''Nggak mungkin. Aku aja kalau nanana nggak mungkin bakalan bersikap lalala." Yaaaa kan itu kita. Bukan dia. Bahkan kalaupun kebanyakan orang bersikap A, belum tentu si X juga akan bersikap A." Jadi, jangan sok tau. Wkwkwk.
Kadang juga kita khawatir si A bersikap nanana ke kita karena kita lalalalala. Padahal belum tentu realitanya sedramatis dan seburuk yang kita pikirkan. Mungkin sebenarnya bermaksud baik tapi cara penyampaiannya yg kurang bisa kita terima, padahal ya memang sudah karakternya begitu, atau mungkin saja lagi pms, lagi banyak pikiran, lagi ada masalah, lagi capek, lagi badmood, dsb sehingga terbawa emosi. Intinya, bertanyalah sebelum menyimpulkan. Kalau memang dirasa tidak perlu untuk ditanyakan, jangan mikir yang negatif. Kalau memang perlu untuk ditanya tapi malas buat bertanya, berpikirlah positif. Nggak bisa mikir positif? jangan dipikirkan. Masih kepikiran? Alihkan ke hal lain. Masih kepikiran juga? Ya tanyain aja, jangan sibuk berasumsi. Nggak mau nanya? balik lagi ke pasal sebelumnya, cari yang paling positif dari sekian banyak kemungkinan yang ada. Dan juga berpikir logis, jangan banyak pake perasaan. Kalau masih saja berpikir negatif tandanya kita perlu berdoa agar dimudahkan untuk menjadi orang yang khusnudzan. Kalau berdasarkan hadist, “Apabila sampai kepadamu dari saudaramu sesuatu yang kamu ingkari, maka berilah ia sebuah udzur sampai 70 udzur. Bila kamu tidak mendapatkan udzur, maka katakanlah, “Barangkali ia mempunyai udzur yang aku tidak ketahui.” Jadi, kemungkinanmu udah 70 belom? wkwkwkwk. Tambahan lagi, kalaupun hal negatif berdasarkan feeling kita itu ternyata benar, buat apa juga dipikirin? Intinya, kalau nggak mengarah ke solusi dan mengarah ke kebaikan, jangan dipikirkan.

Kalau berdasarkan pengalaman sih memang sebenernya kalau mau bertanya, ternyata kenyataannya itu tidak sedramatis yang saya pikirkan, bahkan kadang sangat berbeda dari apa yang saya pikirkan. Rasanya jadi pengen ngetawain diri sendiri kenapa mikirnya sampe segitunya padahal ternyata... yaelaahhh gitu doang. Kadang jadi merasa bersalah karena sudah mikir yang enggak-enggak. Rasanya sudah mencoba melihat dari berbagai sudut pandang, setelah ditanyakan, eh malah itu sama sekali nggak ada di pikiran saya. Ya karena memang orang itu beda-beda gaesss. Jadi, kurang-kurangin berasumsi. Komunikasi adalah kunci. Ingat ya, "Healthy mind, healthy life." Wkwkwk.


OK, NEXT.
Don't complain behind. Communicate. Don't wanna communicate? Sabar. Ikhlas.
Yaampun tapi kok capek mau ngetik. Lanjut besok deh kalau nggak lupa. Byeeee.

Saturday 28 July 2018

Perempuan

Udah lama nggak nulis. Udah lupa gimana cara mengawali cerita, wkwkwk. Intinya, lagi sedih aja akhir-akhir ini. Sedih mendengar cerita sedih. Ya gitu, perempuan. Kebanyakan perempuan adalah tipe Feeling, bukan Thinking. Dalam mengambil keputusan, terkadang lebih banyak dipengaruhi perasaannya. Bukan sesuatu yang salah sebenernya. Tapi kalau untuk urusan menikah, alangkah baiknya ketika memutuskan dengan membawa serta logika. Menikah itu untuk seumur hidup. Bahkan kalau di dalam Islam, menikah itu menyempurnakan separuh agama. Menikah adalah ibadah seumur hidup. Jadi, mudahkanlah ibadahmu (read:menikah) dengan memilih pasangan yang baik agama dan akhlaknya.

Banyak yang bilang kalau untuk urusan nikah, cinta itu nomor sekian. Setuju. Menikah itu komitmen seumur hidup. Nggak cukup modal cinta aja. Kalau cuma modal cinta, cinta bisa hilang. Namun, cinta juga bisa ditumbuhkan, kalau berusaha menjaga komitmen.

Jadi, dalam mengambil keputusan terkait pernikahan, utamakan logika.
Kalau dalam Islam, memilih pasangan itu dilihat dari agama dan akhlaknya. Bukan hanya salah satunya. Bukan berarti mencari yang sempurna agama dan akhlaknya. Karena manusia tempatnya salah dan khilaf. Setiap manusia memiliki kekurangan. Cukup yang baik, bukan sempurna. Baik dan tentunya mau sama-sama belajar dan berusaha untuk terus memperbaiki diri.

Namun pada kenyataannya, kalau sudah terlanjur jatuh cinta, logika akan cenderung kalah dengan perasaan. Terutama perempuan. Terkadang sudah tau agamanya tidak baik, akhlaknya kurang baik, tapi tetap saja maunya nikah sama orang tersebut. Terkadang sambil berandai-andai. Nanti agama dan akhlak bisa diperbaiki sambil jalan. Padahal dalam kenyataannya, ketidakbaikan itu lebih mudah menular masalahnya wkwk. Membiasakan kebiasaan baik itu perlu sekitar 40hari. Tapi, membiasakan kebiasaan buruk, seminggu aja kayaknya cukup. 

Perempuan itu cenderung mengikuti imamnya. Sudah fitrahnya dibimbing. Maka pilihlah imam yang baik. Mengubah seseorang itu sulit, apalagi kalau memang dalam diri orang tersebut tidak ada niat untuk berubah. Apalagi kalau mindsetnya sudah semacam: "Ya emang aku orangnya kasar." Kalau orangnya saja merasa kalau kasar itu bukan sesuatu yang salah yha gimana mau berubah. Semisal lagi, tidak pernah sholat. Sudah menjadi kebiasaan bertahun-tahun. Yakin bisa tiba-tiba berubah kalau kita yang menasihati? Gimana kalau kebiasaan tidak sholatnya itu kambuh lagi suatu saat nanti? Kalau bukan Allah yang kasih hidayah, kita bisa apa? 
Intinya, setan rumah tangga itu banyak wujudnya, kalau pondasi agama dan akhlak kurang baik, mewujudkan keharmonisan menjadi sulit. 
Menikah itu banyak cobaannya. Banyak repotnya. Masa iya masih harus ditambah repot mbenerin pondasi agama dan akhlak? Apalagi kita perempuan. Bakti utamanya beralih dari ibu ke suami ketika menikah. Coba bayangin, harus taat sama orang yang akhlaknya aja nggak bener. Yakin mampu?

Ada lagi cerita. Si perempuan tidak mau menikah dengan orang yang merokok. Sewaktu sebelum menikah, si lelaki janji ngga bakal merokok demi perempuan tersebut. Sudah berjalan sekian bulan dan bisa bertahan tidak merokok. Kekuatan cinta kali ya. Namun, ketika sudah menikah, kambuh lagi kebiasaan merokoknya. Ya karena perubahan karena bukan terdorong dari diri sendiri kemungkinan hanyalah sementara. Terus kalau udah nikah perempuan bisa apa? Mau bilang nggak mau punya suami yang merokok? Terus cerai gitu? Yakali. Jadi, jangan mudah percaya janji. Apalagi janji yang diucapkan saat orang sedang jatuh cinta. Kalau kata hadist, "Jangan mengambil keputusan ketika sedang marah, jangan membuat janji ketika sedang senang" - Ali bin Abi Thalib."

Intinya, jangan lupa utamakan logika. Iya, memang susah kalau sudah terlanjur jatuh cinta. Setidaknya kalau lagi kasmaran, pakailah juga logika teman, karena logika sendiri kadang nggak jalan. Coba bayangin kita menikah dengan orang yang kita cintai, tapi tidak baik akhlaknya. Semisal, kasar, pelit, keras kepala, dll. Mungkin awal menikah kita masih bahagia-bahagia aja. Tapi ketika beberapa tahun berlalu, yakin nggak capek makan ati? Mungkin cintanya udah kalah sama rasa capek. Numpuk sama capek nyuci, capek nyetrika, capek beresin mainan anak, dan printilan capek khas ibu-ibu lainnya. Sementara, jika kita menikah dengan orang yang belum kita cintai tapi baik akhlaknya, mungkin di awal pernikahan tidak sebahagia ketika kita menikah dengan orang yang kita cintai. Tapi beberapa tahun kemudian, mungkin kita sudah bisa jatuh cinta karena perlakuannya yang baik terhadap kita. Apalagi, perempuan itu cenderung gampang leleh, eh luluh. Teorinya sih, wkwkwk. Aku sendiri kan masih anak bawang yang baru mencoba menerawang pernikahan. Urusan menikah, kalau niatnya tidak kuat, meskipun sama-sama cinta, belum tentu sampai pada pernikahan.
Tapi balik lagi, perempuan yang cenderung pakai perasaan, kadang susah kalau sudah terlanjur jatuh cinta. Terlanjur nyaman. Terlanjur menutup hati. Makanya jangan asal naruh perasaan. Belajarlah untuk mencintai dan berkomitmen pada seseorang yang sudah pasti masuk kriteria masa depan.

Eh tambahan satu lagi, pilihlah seseorang yang nggak cuma bisa menerima kita, tapi juga menerima keluarga kita apa adanya. Pilihlah seseorang yang tidak membuat kita sulit untuk membahagiakan orang tua. 

Terakhir, yang paling penting sih berdoa. Hanya Allah yang paling tahu jodoh terbaik untuk kita. 

Sekian. Maaf kalau kesannya ceramah. Buat pengingat juga untuk diri sendiri kalau besok-besok khilaf. Wkwkwk

Thursday 12 April 2018

Menikah

Kalau kita terus menerus mencari yang terbaik. Mungkin, kita tidak akan pernah selesai membanding-bandingkan. Kata guruku, tidak ada yang benar-benar terbaik, yang ada hanyalah yang bersedia untuk terus memperbaiki dan diperbaiki.

Selama kita berhadapan pada pilihan, sejatinya kita tidak akan pernah bisa mengambil keputusan yang benar. Semua keputusan yang kita ambil itu salah. Kemudian, peluang untuk menjadikannya benar itu sama besarnya. Caranya, dengan kita menjalani keputusan yang kita ambil tersebut. Menjalani konsekuensinya, menjadi orang yang berkomitmen kuat atas keputusan yang diambil, tidak mudah mengeluh apalagi sampai ada penyesalan mengapa keputusan itu diambil dan mengapa dulu tidak mengambil keputusan yang lain.

Menikah adalah keputusan yang dibuat dengan persiapan dan lebih banyak kenekatan. Menikah butuh kenekatan, jika kata berani tidak cukup untuk merepresentasikannya, resiko pernikahan tentu bukan hal yang sederhana. Hanya saja, kalau kami terus menerus memikirkan resikonya, mungkin kami tidak akan pernah menikah seumur hidup.

Suatu ketika saat kamu sedang memiliki perasaan kepada seseorang, tiba-tiba muncul orang lain yang memiliki niat terbaik dalam hidupnya untukmu. Apakah kamu berani melawan arah perasaanmu?

Dunia penuh cobaan. Cari pasangan yang bisa diajak berjuang bersama menghadapi itu. Yang bisa mengimbangi, yang ketika kamu marah dia diam meredakan. Ketika dia marah, kamu juga bisa berlaku sebaliknya, diam dan meredakan. Itu kuncinya.

Melanggengkan pernikahan adalah soal strategi. Termasuk menyiasati hal kecil. Stop mempermasalahkan hal kecil dan justru mensyukuri hal-hal kecil yang lain. Tak usah dibesar-besarkan kealpaan pasangan kita. Besarkan saja yang berpotensi menumbuhkan kasih sayang. Rasa-rasanya bakal melelahkan kalau kita selalu mengungkit kerikil yang tak sengaja terinjak, atau prasangka-prasangka yang salah alamat.

Pada dasarnya laki-laki itu liar. Sebab itu, yang terbaik dari mereka adalah yang memiliki kemampuan mengendalikan dirinya sendiri.

Perempuan yang paling cantik adalah perempuan yang mudah bersyukur.

"Ada orang-orang baik yang sengaja dihadirkan dalam hidup kita untuk menguji perasaan kita. Bukan untuk menjadi pasangan hidup kita."

"Pada akhirnya orang-orang yang jatuh cinta akan kembali kepada Tuhan. Setelah jauh ia mencari, pada akhirnya ia hanya bisa meminta."

Dikutip dari: Menentukan Arah - Kurniawan Gunadi & Aji Nur Afifah