Friday 28 February 2014

Terimakasih Marching Band

Lagi pengen nulis. 70% curhat. Jadi, kalau yang nggak punya naluri kepo tinggi, males baca curhatan orang, jangan dibaca wkwk ntar nyesel.
Kali ini saya mau cerita tentang Marching Band. Ada yang nggak tau apa itu Marching Band? Kalau nggak tau coba deh nonton film yang judulnya "12 Menit", atau searching aja di youtube GPMB UGM, UGM aja ya jangan yang lain hahahaha *promosi*.

Thursday 13 February 2014

Tragedi Absensi

Kenyataan harus diterima bahwa terkadang tidak ada toleransi bagi mahasiswa, entah bagi dosen. Mereka yang lebih berkuasa itu sebenarnya mungkin hanya pura-pura mendengarkan, tidak benar-benar mendengarkan pendapat dari mereka-mereka yang berkosultasi kepadanya.
Bermula dari absensi mata kuliah **** saya yang hanya 73%, saya tidak diperkenankan mengikuti ujian. Biasanya ketidakhadiran sebanyak 3x tetap bisa mengikuti ujian. Tapi kali ini tidak, karena pertemuan kuliah **** yang seharusnya diadakan sebanyak 14x pertemuan, hanya diadakan sebanyak 11x pertemuan. 1x pertemuan tidak ada karena hari libur, 2x pertemuan tidak ada karena dosennya tidak bisa hadir dikarenakan sedang ada urusan di luar negeri, dan tidak melaksanakan kuliah pengganti. Saya tidak tahu-menahu bagaimana hukumnya dosen yang tidak mengadakan kuliah pengganti apakah sebenarnya dibolehkan atau tidak. Saya hanya berharap ada toleransi bagi saya karena dosen pun ada toleransi tidak mengadakan kuliah pengganti *ngarep. Oleh karena itu, saya berusaha agar tetap bisa mengikuti ujian. Setelah menemui seseorang yang bersangkutan saya dianjurkan untuk menemui PPJ Akademik. Setelah membuat surat, belum sempat dikirimkan, ternyata teman saya sudah menemui dosen pengampu yang bersangkutan. Setelah berkonsultasi dengan salah satu ibu bagian TU yang bersangkutan dengan masalah absensi, katanya tidak masalah, kalau dosennya mengijinkan, berarti diijinkan. Padahal sebenarnya prosedur tersebut salah. Tapi waktu itu saya sih percaya aja sama ibu tersebut, toh dia lebih berpengalaman, sudah disitu bertahun-tahun. Saya bertanya apakah saya harus tetap ke PPJ akademik, beliau bilang tidak usah. Mungkin, ibu TU tersebut juga sebenarnya tahu bahwa saya boleh mengikuti ujian, tetapi nilai yang keluar tetap E, tapi beliau tidak mengingatkan atau mungkin memang beliau benar-benar tidak tahu. Kalau beliau memang tidak tahu, berarti ada beda pendapat antar Ibu TU, hmmmm.
Surat yang sudah ditandatangani dosen pengampu tersebut saat itu saya serahkan ke ibu TU yang mengurusi absensi tersebut, yang ternyata tidak pernah sampai ke Kajur dan akibatnya tidak mendapat disposisi. Itulah alasan ibu TU bagian nilai tetap mengeluarkan nilai E. Beliau bilang, harusnya surat tersebut masuk ke Kajur dengan terlebih dahulu konsultasi dengan PPJ Akademik. Dan saat ini, sudah terlambat waktunya untuk mengurus.
Saya tidak putus asa. Saya kembali menemui ibu TU bagian absensi, intinya beliau hanya bilang “Saya tidak bisa berbuat apa-apa karena nilai bukan tanggung jawab saya, saya hanya bertugas mengurus absen.” Saya bertanya solusi terbaiknya bagaimana, beliau bilang saya harus menemui TU bagian nilai. Saat teman saya menemui beliau, beliau cukup saklek ternyata. Apapaun yang dikatakan teman saya, beliau hanya bilang “Peraturan UGM harus 75%, kurang dari itu artinya E.” Benar-benar tidak ada tawar menawar. Akhir kata, beliau hanya bilang “Nanti coba saya rapatkan.” Tapi ternyata kalimat itu tidak lebih dari usiran halus agar saya berhenti mengejar-ngejarnya. Nyatanya tidak ada kabar apapun setelah itu.
Saya kemudian menemui PPJ Akademik. Saya jelaskan masalah saya. Beliau menanggapi dengan, “Yang kamu omongkan itu saya tidak tahu benar atau salah, saya perlu bukti.” Intinya, beliau minta saya buat surat ke Kajur yang harus ditandatangani Dosen Pengampu. Saya optimis. Saya pun akhirnya membuat surat. Seperti ini:
Surat yang pada akhirnya tidak pernah ada yang membacanya kecuali saya sendiri. Ketika saya meminta tanda tangan Dosen Pengampu, belum apa-apa beliau langsung nyeletuk, “Saya tidak mau membuka diskusi tentang ini, urusan saya hanya mengajar dan memberikan nilai ke TU, selesai.” Dan benar-benar beliau tidak mau mendengar penjelasan sepatah kata pun.
Saya mendapat ide untuk menarik surat yang pernah saya buat, yang dulu pernah ditandatangani Dosen Pengampu, yang tidak pernah sampai ke Kajur, yang ternyata mengendap di Ibu TU bagian nilai. Sebagai bukti.
Seperti dugaan saya, ibu TU tersebut tidak mengijinkan saya menarik kembali suratnya. Beliau sepertinya tahu maksud saya dan langsung bilang, “Nilai anda tidak akan berubah.” Padahal belum juga jelasin apa-apa. Saat saya bilang saya benar-benar butuh karena bagian PPJ minta bukti yang sudah ditandatangi Dosen Pengampu, beliau bilang “Nanti biar saya yang berdiskusi dengan Bapak PPJ Akademik.”
Saya teringat lampiran absen yang menunjukkan bahwa Dosen Pengampu memang tidak masuk 2x dan tidak mengadakan kuliah pengganti. Saya fotocopy, kemudian saya bawa sebagai bukti untuk menemui PPJ Akademik. Saya masuk ruangan, saya jelaskan bahwa Dosen Pengampu tidak bersedia untuk tanda tangan. Beliau bilang, “Ya sudah, surat anda tidak bisa masuk ke Kajur tanpa tanda tangan beliau.”
“Tapi, Pak. Bapak kan minta bukti. Ini juga bukti Pak bahwa yang saya katakan memang benar.” (sambil saya tunjukkan lampiran absen)
Saya tidak begitu ingat kata-katanya, intinya beliau tidak mau kalau Dosen Pengampu tidak terlibat, karena surat saya melibatkan si Dosen Pengampu, jika tanpa persetujuan Dosen Pengampu, maka beliau telah berbuat dosa, mendzolimi si Dosen Pengampu. Hmm.
Setelah berdebat panjang, tetap tidak ada toleransi bagi saya. Saya sudah tahu sudah tidak ada harapan lagi. Saya iseng bertanya satu hal karena penasaran.
“Kalau memang nilai saya tidak bisa berubah, boleh tidak Pak saya bertanya satu hal? Saya hanya ingin tahu, sebenarnya jika dosen tidak hadir apakah beliau wajib mengadakan kuliah pengganti ?”
Saya bertanya seperti itu hanya ingin tahu saja, dan jika memang dosen tidak wajib mengadakan kuliah pengganti, saya sangat ikhlas sekali menerima keputusan ini, karena itu artinya saya yang salah. Saya hanya ingin ada aturan yang jelas. Karena, syarat kehadiran mahasiswa saja jelas, kenapa syarat kehadiran dosen tidak jelas? Tidak ada hitam diatas putih. Kalaupun sudah ada, ya saya hanya ingin bertanya karena saya benar-benar tidak tahu, kenapa tidak langsung dikasih tahu? Begitu dikasih tahu, kan selesai sudah.
Kemudian beliau menjawab, “Kamu itu memang membuat masalah semakin rumit. Kamu mau menyalahkan dosen? Harusnya kamu tidak masuk 3x, itu sudah jelas kamu yang salah. Mahasiswa itu hadir harusnya 100%, 25% itu bukan jatah untuk dihabiskan. Kamu disini dikirim untuk kuliah. Bla bla bla”
Hmm saya kira jawabanya tidak nyambung, meskipun dalam perkataannya ada benarnya juga.
Ada lagi perkataan beliau yang masih membekas.
“Kamu pernah mengikuti kuliah Pak ***** ?”
“Belum Pak.”
“Kalau pernah, saya yakin kamu akan paham. Jika ada ketidaknormalan, sepantasnya memang diabaikan.”
Jadi, kasus seperti saya ini dianggap tidak normal. Artinya suara saya yang minoritas ini tetap tidak akan didengar karena beliau hanya mau mendengar yang normal, mayoritas.
Sebenarnya saya juga tidak terlalu peduli atau menyalahkan beliau yang tidak mengadakan kuliah pengganti. Saya hanya ingin diberi toleransi, karena dosen tersebut juga mendapat toleransi tidak mengadakan kuliah pengganti. Atau kenapa tidak dari awal saja saya tidak boleh mengikuti ujian dengan alasan apapun jika endingnya hanya seperti ini. PHP. BANGET.
Dugaan saya, beliau mau cari aman aja. Kalau masalah ini dibawa ke rapat itu artinya akan menyudutkan Dosen Pengampu. Kalau buktinya hanya kertas absensi, bukan tanda tangan Dosen Pengampu, itu artinya beliau memihak saya. Mungkin pekewuh kalau istilah jawanya.
Sebenarnya hal ini juga terjadi untuk mata kuliah **. Dosen Pengampu tidak mengadakan kuliah pengganti sebanyak 7x, dan mahasiswa yang absensinya kurang tetap akan dikeluarkan nilainya setelah adanya rapat besar yang membahas hal ini (kata Ibu TU saat saya mengadu masalah ini). Jika benar, dugaan saya, hal itu karena Dosen Pengampu tersebut bukan dari jurusan (dari fakultas lain), sehingga tidak ada lagi pekewuh saat diadakan rapat besar. Kalaupun alasannya karena jumlahnya yang berbeda sehingga untuk ** ada toleransi dan **** tidak, itu sama aja kayak korupsi yang kecil dibiarkan, sedangkan korupsi yang besar baru diurus.
Intinya, selama UAS saya mengurus masalah ini, saya belajar dan mengikuti UAS **** tidak ada gunanya bukan? Hanya menambah beban pikiran dan memperburuk nilai yang lain. Pelajaran yang didapat, jangan mudah percaya pada perkataan satu orang agar tidak terjadi kesalahan prosedur, atau jika tidak tahu maka bertanyalah pada orang yang paling berkuasa karena dialah kuncinya, yang paling berhak (?) memutuskan sesuatu.
Sekali lagi ini hanya curhat, pendapat saya, sangat subjektif. Dan semua orang bebas berpendapat. Mohon maklum.
Untuk orang-orang yang berkuasa, tetap hargailah pendapat minoritas, sampaikan dengan sebijaksana mungkin jika memang permohonan yang diajukan ditolak, bukan dengan ketidakjelasan dan perkataan yang menyebalkan.
Ini juga teguran bagi saya yang dulu sering membolos. Salah siapa sering bolos, haha. Hukum alam. Jika nasihat tak mampu membuatmu jera, maka kejadian pahit itu lebih dari sekedar nasihat, obat yang lebih manjur dari nasihat untuk membuat seseorang jera. Seseorang pernah bilang, mungkin mengutip dari hadist "Mudahkanlah urusan orang lain, maka Allah akan memudahkan urusanmu." Mungkin saya pernah mempersulit urusan orang, jadi ini balasannya, dipersulit. Sekali lagi, semua pasti ada hikmahnya. Harus selalu bersyukur. Tetep semangaaat :))))) 

Sunday 9 February 2014

Edensor: Cermin Keberanian


image source: goodreads.com
Judul Novel     : Edensor
Pengarang       : Andrea Hirata
Penerbit           : Klub Sastra Bentang
Tahun terbit     : 2007
Tebal buku       : 306 hlm.

Andrea Hirata, sebelumnya tak dikenal, tak pernah menulis sepotong cerpen pun ataupun novel, tapi seorang penulis pemula tersebut langsung menerbitkan tetralogi yang semuanya adalah best seller. Ajaib. Keempat novelnya tersebut adalah Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov.  Keempat novelnya diangkat dari kisahnya sendiri.
Dulu, saat masih SMP, kalau nggak salah kelas 1 saya memang terbilang masih cupu, bacaannya masih sekitar teenlit. Membaca Laskar Pelangi hanya sampai seperempat bagian saja. Sang pemimpi hanya saya habiskan setengah. Bahasanya terlalu tinggi untuk ukuran orang cupu haha. Lebih enak nonton filmnya.
Baru-baru ini, Edensor berhasil saya tamatkan. Awal-awalnya memang sedikit membosankan, nggak ada greget buat langsung membacanya sampai habis. Akan tetapi, semakin lama semakin bagus. Saya memberi nilai 4,7 dari 5. Minus 0,3-nya yaitu 0,2 karena endingnya kurang memuaskan, masih nggantung -mungkin harus baca buku keempatnya-, dan 0,1 karena tokoh idola Ikal adalah Roma Irama *oke ini sangat subjectif.