Masih ingat ketika semester awal dulu.
Setiap kali habis ujian saya
selalu mencari tahu perihal jawaban saya benar atau tidak kemudian membuat
prediksi nilai. Satu demi satu nilai keluar. Semua sesuai prediksi kecuali satu
mata kuliah. Saya benar-benar tidak bisa mengerjakannya dengan baik, tapi
adalah nilai A yang muncul. Kemudian esok paginya saya menemui dosen pengampu
mata kuliah tersebut perihal nilai saya yang ajaib. Ternyata keheranan saya
masuk akal karena nilai yang benar adalah B.
Mungkin jika hal itu terjadi sekarang, entah saya akan
protes atau tidak. Mungkin saya lebih suka menganggap itu adalah keberuntungan
mengingat penurunan nilai adalah ‘sesuatu’ untuk ipk yang semakin
memprihatinkan ini –disamping mata kuliah sekarang memang semakin susah dan
semakin sulit diprediksi nilainya
Simpel saja. Jika lebih baik dari
yang diprediksi, anggap saja beruntung. Jika lebih jelek dari yang diprediksi,
anggap saja ‘apes’. Selesai.
Jika nilai lebih jelek dari yang
diprediksi maka malas beribet-ribet memperjuangkan apa yang belum tentu seperti
yang dipikirkan.
Jika nilai lebih bagus dari yang
diprediksi, tidak ada lagi kekhawatiran
“bagaimana jika nilai saya lebih baik daripada kapabilitas saya sebenarnya?”
Entah karena memang ingin lebih
simpel atau idealisme yang semakin luntur.
Dulu saat saya SD, sewaktu ulangan sering menutupi jawaban rapat-rapat
demi agar tidak dilirik teman sebelahnya –padahal teman sebelahnya juga
melakukan hal yang sama, tidak berniat melirik.
Akan tetapi, saat UN adalah guru yang mengajari saya dan teman-teman lain untuk
“saling membantu” agar semuanya lulus. Bagaimana bisa seorang guru mengajari
menyontek kepada murid-muridnya yang tentu saja masih polos dan kemungkinan
besar akan menurut? Kenapa tidak memberikan jam extra saja kepada –yang mereka
anggap tidak lulus jika tidak dibantu? Tidak ingin repot?
Dulu, pelajaran SD/SMP/SMA tidak se-rumit pelajaran SD/SMP/SMA
jaman sekarang. Kemajuan memang.
Akan tetapi, dengan semakin sulit materi yang diajarkan, saya khawatir akan
lebih banyak yang memilih mencari jalan pintas.
SMA saya dulu SMA yang biasa saja dari segi akademik, menyontek
adalah hal biasa. Meskipun tetap saja
ditegur jika ketahuan. Saat UN teman-teman saya banyak yang menyontek.
Bahkan saya yakin –pengawas juga melihatnya. Mengapa mereka membiarkannya? Mungkin ‘pura-pura tidak tahu’
lebih simpel daripada harus mempertahankan idealisme sebagai seorang guru yang
melarang keras menyontek dan harus repot-repot kena getahnya karena mencoreng
nama sebuah SMA.
Dulu, awal-awal saya kuliah –saya tahu UGM bukan universitas sembarangan, saya bangga karena tidak lagi melihat kecurangan saat ujian dan atau
semacamnya. Akan tetapi, semakin
semester lanjut ternyata tidak lagi seperti dulu. Lagi-lagi, idealisme
semakin luntur.
Ada yang bilang, pendidikan di
Indonesia memang lebih ke orientasi pada nilai, bukan moral dan atau karakter.
Saya setuju. Padahal, betapa ketidakjujuran itu efeknya sangat luas terhadap perkembangan bangsa ini.
No comments:
Post a Comment