Tuesday 3 February 2015

"Idealisme" Dulu dan Sekarang

Masih ingat ketika semester awal dulu.
Setiap kali habis ujian saya selalu mencari tahu perihal jawaban saya benar atau tidak kemudian membuat prediksi nilai. Satu demi satu nilai keluar. Semua sesuai prediksi kecuali satu mata kuliah. Saya benar-benar tidak bisa mengerjakannya dengan baik, tapi adalah nilai A yang muncul. Kemudian esok paginya saya menemui dosen pengampu mata kuliah tersebut perihal nilai saya yang ajaib. Ternyata keheranan saya masuk akal karena nilai yang benar adalah B.
Mungkin jika hal itu terjadi sekarang, entah saya akan protes atau tidak. Mungkin saya lebih suka menganggap itu adalah keberuntungan mengingat penurunan nilai adalah ‘sesuatu’ untuk ipk yang semakin memprihatinkan ini –disamping mata kuliah sekarang memang semakin susah dan semakin sulit diprediksi nilainya
Simpel saja. Jika lebih baik dari yang diprediksi, anggap saja beruntung. Jika lebih jelek dari yang diprediksi, anggap saja ‘apes’. Selesai.
Jika nilai lebih jelek dari yang diprediksi maka malas beribet-ribet memperjuangkan apa yang belum tentu seperti yang dipikirkan.
Jika nilai lebih bagus dari yang diprediksi,  tidak ada lagi kekhawatiran “bagaimana jika nilai saya lebih baik daripada kapabilitas saya sebenarnya?”
Entah karena memang ingin lebih simpel atau idealisme yang semakin luntur.
Dulu saat saya SD, sewaktu ulangan sering menutupi jawaban rapat-rapat demi agar tidak dilirik teman sebelahnya –padahal teman sebelahnya juga melakukan hal yang sama, tidak berniat melirik.
Akan tetapi, saat UN adalah guru yang mengajari saya dan teman-teman lain untuk “saling membantu” agar semuanya lulus. Bagaimana bisa seorang guru mengajari menyontek kepada murid-muridnya yang tentu saja masih polos dan kemungkinan besar akan menurut? Kenapa tidak memberikan jam extra saja kepada –yang mereka anggap tidak lulus jika tidak dibantu? Tidak ingin repot?
Dulu, pelajaran SD/SMP/SMA tidak se-rumit pelajaran SD/SMP/SMA jaman sekarang. Kemajuan memang. Akan tetapi, dengan semakin sulit materi yang diajarkan, saya khawatir akan lebih banyak yang memilih mencari jalan pintas. 
SMA saya dulu SMA yang biasa saja dari segi akademik, menyontek adalah hal biasa. Meskipun tetap saja ditegur jika ketahuan. Saat UN teman-teman saya banyak yang menyontek. Bahkan saya yakin –pengawas juga melihatnya. Mengapa mereka membiarkannya? Mungkin ‘pura-pura tidak tahu’ lebih simpel daripada harus mempertahankan idealisme sebagai seorang guru yang melarang keras menyontek dan harus repot-repot kena getahnya karena mencoreng nama sebuah SMA.
Dulu, awal-awal saya kuliah –saya tahu UGM bukan universitas sembarangan, saya bangga karena tidak lagi melihat kecurangan saat ujian dan atau semacamnya. Akan tetapi, semakin semester lanjut ternyata tidak lagi seperti dulu. Lagi-lagi, idealisme semakin luntur.
Ada yang bilang, pendidikan di Indonesia memang lebih ke orientasi pada nilai, bukan moral dan atau karakter. Saya setuju. Padahal, betapa ketidakjujuran itu efeknya sangat luas terhadap perkembangan bangsa ini.

No comments:

Post a Comment